Pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia
(dulu masih bernama RIS-Republik Indonesia Serikat) tanggal 27 Desember
1949, pusat Pemerintahan Republik Indonesia berpindah tempat dari
Yogykarta kembali ke Jakarta. Sebelumnya, selama empat tahun Yogyakarta
pernah menjadi ibukota Republik Indonesia, yaitu resminya sejak 4
Januari 1946 sampai 27 Desember 1949. Perpindahan pusat pemerintahan
tersebut diikuti dengan perpindahan kantor kementerian, dan
kantor-kantor atau instansi milik pemerintah.
Demikan pula pada tahun 1950 Pengurus Besar IPSI secara de facto
juga berpindah tempat dari Yogyakarta ke Jakarta, sekalipun tidak semua
anggota pengurus-pengurus Ikatan Pencak Silat Indonesia dapat ikut
pindah ke Jakarta. Waktu itu IPSI baru 2 tahun berdiri, yaitu sejak
didirikan pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta, oleh Panitia Persiapan
Persatuan Pencak Silat Indonesia, yang menetapkan Mr. Wongsonegoro
sebagai Ketua PB.IPSI. Saat IPSI berdiri, Republik Indonesia sedang
dalam masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan memantapkan
kedaulatan Republik Indonesia, yang harus ditempuh melalui perjuangan
baik secara fisik maupun diplomasi. Kondisi ini juga mengakibatkan IPSI
yang masih berusia muda harus mengkonsentrasikan pengabdiannya kepada
perjuangan kemerdekaan, sehingga kondisi manajerial dan operasional IPSI
kala itu mau tidak mau mengalami penyusutan.
Di sisi lain, Pemerintah Pusat RI kala juga sedang menghadapi pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia ( DI/TII ) di beberapa daerah, termasuk di Jawa dan Lampung. Untuk menambah kekuatan dalam melawan DI/TII tersebut, Panglima Teritorium III waktu itu, Kolonel (terakhir Letnan Jenderal) R.A. Kosasih, dibantu Kolonel Hidayat dan Kolonel Harun membentuk PPSI (Persatuan Pencak Silat Indonesia), yang kala itu didirikan untuk menggalang kekuatan jajaran Pencak Silat dalam menghadapi DI/TII yang berkembang di wilayah Lampung, Jawa Barat (termasuk Jakarta), Jawa Tengah bagian Barat termasuk D.I. Yogyakarta.
Setidaknya dalam kondisi tersebut timbulah dualisme dalam pembinaan dan pengendalian Pencak Silat di Indonesia, yaitu Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dengan konsentrasi lebih banyak dalam hal pembinaan pada aspek Olah Raga, sedangkan Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI) lebih banyak membina pada aspek seni pertunjukan (ibing Pencak Silat) dan Pencak Silat bela diri untuk melawan DI/TII. Selain dua organisasi, IPSI dan PPSI ini, juga terdapat beberapa organisasi lain seperti Bapensi, yang masing-masing berupaya merebut pengaruh sebagai induk pembinaan pencak silat di Indonesia.
Sementara itu IPSI harus berjuang keras agar pencak silat dapat masuk sebagai acara pertandingan di Pekan Olahraga Nasional. Hal serupa juga dilakukan oleh PPSI yang setiap menjelang PON juga berusaha untuk memasukkan pencak silatnya agar dapat ikut PON. Namun Pemerintah, yang pada tahun 1948 juga ikut berperan mendirikan IPSI, hanya mengenal IPSI sebagai induk organisasi pencak silat di Indonesia.
Kala itu induk organisasi olahraga yang ada adalah KOI (Komite Olimpiade Indonesia) diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia) dengan Ketua Widodo Sosrodiningrat.Di tahun 1951, PORI melebur kedalam KOI. Tahun 1961 Pemerintah membentuk Komite Gerakan Olahraga (KOGOR) untuk mempersiapkan pembentukan tim nasional Indonesia menghadapi Asian Games IV di Jakarta. Kemudian di tahun 1962 Pemerintah untuk pertama kalinya membentuk Departemen Olahraga (Depora) dan mengangkat Maladi sebagai menteri olahraga. Selanjutnya di tahun 1964 Pemerintah membentuk Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI), yang mana semua organisasi KOGOR, KOI, top organisasi olahraga dilebur ke dalam DORI.
Pada tanggal 25 Desember 1965, IPSI ikut membentuk Sekretariat Bersama Top-top Organisasi Cabang Olahraga, yang kemudian mengusulkan mengganti DORI menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang mandiri dan bebas dari pengaruh politik, yang kemudian kelak pada 31 Desember 1966 KONI dibentuk dengan Ketua Umum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Maka kala itu IPSI juga ikut memegang peranan penting dalam sejarah pembentukan KONI sehingga kelak menjadi induk organisasi olahraga di Indonesia.
Menjelang Kongres IV IPSI tahun 1973 beberapa tokoh Pencak Silat yang ada di Jakarta membantu PB IPSI untuk mencari calon Ketua Umum yang baru, karena kondisi Mr. Wongsonegoro yang pada saat itu sudah tua sekali. Salah satu nama yang berhasil diusulkan adalah Brigjen.TNI Tjokropranolo (terakhir Letjen TNI) yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sekalipun kelak kemudian pada Kongres IV ini beliau terpilih sebagai Ketua Umum PB IPSI, namun jalan bagi Brigjen.TNI. Tjokropranolo tidaklah semudah yang dibayangkan. Masih banyak tugas dan tanggung jawab PB IPSI yang kelak harus dihadapi dengan serius. Disamping itu PB IPSI pun perlu merumuskan jati dirinya secara lebih aktif, disamping merumuskan bagaimana mempertahankan eksistensi dan historis IPSI dalam langkah pembangunan nasional.
Di sisi lain, Pemerintah Pusat RI kala juga sedang menghadapi pemberontakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia ( DI/TII ) di beberapa daerah, termasuk di Jawa dan Lampung. Untuk menambah kekuatan dalam melawan DI/TII tersebut, Panglima Teritorium III waktu itu, Kolonel (terakhir Letnan Jenderal) R.A. Kosasih, dibantu Kolonel Hidayat dan Kolonel Harun membentuk PPSI (Persatuan Pencak Silat Indonesia), yang kala itu didirikan untuk menggalang kekuatan jajaran Pencak Silat dalam menghadapi DI/TII yang berkembang di wilayah Lampung, Jawa Barat (termasuk Jakarta), Jawa Tengah bagian Barat termasuk D.I. Yogyakarta.
Setidaknya dalam kondisi tersebut timbulah dualisme dalam pembinaan dan pengendalian Pencak Silat di Indonesia, yaitu Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dengan konsentrasi lebih banyak dalam hal pembinaan pada aspek Olah Raga, sedangkan Persatuan Pencak Silat Indonesia (PPSI) lebih banyak membina pada aspek seni pertunjukan (ibing Pencak Silat) dan Pencak Silat bela diri untuk melawan DI/TII. Selain dua organisasi, IPSI dan PPSI ini, juga terdapat beberapa organisasi lain seperti Bapensi, yang masing-masing berupaya merebut pengaruh sebagai induk pembinaan pencak silat di Indonesia.
Sementara itu IPSI harus berjuang keras agar pencak silat dapat masuk sebagai acara pertandingan di Pekan Olahraga Nasional. Hal serupa juga dilakukan oleh PPSI yang setiap menjelang PON juga berusaha untuk memasukkan pencak silatnya agar dapat ikut PON. Namun Pemerintah, yang pada tahun 1948 juga ikut berperan mendirikan IPSI, hanya mengenal IPSI sebagai induk organisasi pencak silat di Indonesia.
Kala itu induk organisasi olahraga yang ada adalah KOI (Komite Olimpiade Indonesia) diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia) dengan Ketua Widodo Sosrodiningrat.Di tahun 1951, PORI melebur kedalam KOI. Tahun 1961 Pemerintah membentuk Komite Gerakan Olahraga (KOGOR) untuk mempersiapkan pembentukan tim nasional Indonesia menghadapi Asian Games IV di Jakarta. Kemudian di tahun 1962 Pemerintah untuk pertama kalinya membentuk Departemen Olahraga (Depora) dan mengangkat Maladi sebagai menteri olahraga. Selanjutnya di tahun 1964 Pemerintah membentuk Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI), yang mana semua organisasi KOGOR, KOI, top organisasi olahraga dilebur ke dalam DORI.
Pada tanggal 25 Desember 1965, IPSI ikut membentuk Sekretariat Bersama Top-top Organisasi Cabang Olahraga, yang kemudian mengusulkan mengganti DORI menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang mandiri dan bebas dari pengaruh politik, yang kemudian kelak pada 31 Desember 1966 KONI dibentuk dengan Ketua Umum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Maka kala itu IPSI juga ikut memegang peranan penting dalam sejarah pembentukan KONI sehingga kelak menjadi induk organisasi olahraga di Indonesia.
Menjelang Kongres IV IPSI tahun 1973 beberapa tokoh Pencak Silat yang ada di Jakarta membantu PB IPSI untuk mencari calon Ketua Umum yang baru, karena kondisi Mr. Wongsonegoro yang pada saat itu sudah tua sekali. Salah satu nama yang berhasil diusulkan adalah Brigjen.TNI Tjokropranolo (terakhir Letjen TNI) yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sekalipun kelak kemudian pada Kongres IV ini beliau terpilih sebagai Ketua Umum PB IPSI, namun jalan bagi Brigjen.TNI. Tjokropranolo tidaklah semudah yang dibayangkan. Masih banyak tugas dan tanggung jawab PB IPSI yang kelak harus dihadapi dengan serius. Disamping itu PB IPSI pun perlu merumuskan jati dirinya secara lebih aktif, disamping merumuskan bagaimana mempertahankan eksistensi dan historis IPSI dalam langkah pembangunan nasional.
Karena itu kemudian Brigjen.TNI. Tjokropranolo dibantu oleh beberapa Perguruan Pencak Silat yaitu:
- Persaudaraan Setia Hati : Bapak. Mariyun Sudirohadiprodjo, Bapak. Mashadi, Bapak. Harsoyo dan Bapak .H.M. Zain;
- dari KPS Nusantara :Bapak. Moch Hadimulyo dibantu Bapak. Sumarnohadi, Dr. Rachmadi, Dr. Djoko Waspodo;
- Perisai Diri : Bapak. Arnowo Adji HK;
- dari Phasadja Mataram : Bapak. KRT Sutardjonegoro;
- dari Perpi Harimurti : Bapak. Sukowinadi;
- dari Perisai Putih : Bapak.Maramis, Bapak. Runtu, Bapak. Sutedjo dan Bapak. Himantoro;
- dari Putera Betawi : Bapak.H. Saali;
- dari Tapak Suci : Bapak Haryadi Mawardi, dibantu Bpk. Tanamas;
- dari Persaudaraan Setia Hati Terate : Bapak. Januarno, Bapak. Imam Suyitno dan Bapak. Laksma Pamudji.
Salah satu tantangan yang cukup berarti saat itu adalah belum
berintegrasinya PPSI ke dalam IPSI. Kemudian atas jasa Bapak
Tjokropranolo berhasil diadakan pendekatan kepada 3 (tiga) pimpinan PPSI
yang kebetulan satu corps yaitu Corps Polisi Militer. Sejak itu PPSI
setuju berintegrasi dengan IPSI, kemudian Sekretariat PB IPSI di Stadion
Utama dijadikan juga sebagai Sekretariat PPSI. Pada Kongres IV IPSI
itulah kelak kemudian, H. Suhari Sapari, Ketua Harian PPSI datang ke
Kongres dan menyatakan bahwa PPSI bergabung ke IPSI.
Kongres IV IPSI tahun 1973 menetapkan Bp. Tjokropranolo sebagai Ketua
PB. IPSI menggantikan Mr. Wongsonegoro. Mr. Wongsonegoro telah berjasa
mengantarkan IPSI dari era perjuangan kemerdekaan menuju era yang baru,
era mengisi kemerdekaan. Saat inilah seolah IPSI berdiri kembali dan
lebih berkonsentrasi pada pengabdiannya, setelah sebelumnya melalui
masa-masa perang fisik dan diplomasi yang dialami seluruh bangsa
Indonesia. Di bawah kepemimpinan Bapak Tjokropranolo ini IPSI semakin
mantap berdiri dengan tantangan-tantangan yang baru sesuai perkembangan
zaman. Pada Kongres IV IPSI itu pun sepuluh perguruan yang menjadi
pemersatu dan pendukung tetap berdirinya IPSI diterima langsung sebagai
anggota IPSI Pusat, dan kemudian memantapkan manajemen, memperkuat
rentang kendali PB IPSI sampai ke daerah-daerah, dan mempersatukan
masyarakat pencak silat dalam satu induk organisasi. Untuk selajutnya
Bapak Tjokropranolo menegaskan bahwa 10 (sepuluh) Perguruan Silat
tersebutlah yang telah berhasil bukan sekedar menyusun bahkan juga
melaksanakan program-program IPSI secara konsisten dan berkesinambungan.
Maka selanjutnya yang dimaksud dengan sepuluh perguruan tersebut adalah:
- Persaudaraan Setia Hati,
- Persaudaraan Setia Hati Terate,
- Perisai Diri,
- Perisai Putih,
- Tapak Suci,
- Phasadja Mataram,
- Perpi Harimurti,
- Persatuan Pencak Seluruh Indonesia (PPSI),
- Putera Betawi,
- KPS Nusantara.
Pada waktu kepemimpinan Bapak. H. Eddie M. Nalapraya nama kelompok 10 (sepuluh) Perguruan Silat anggota IPSI Pusat tersebut diubah menjadi 10 (sepuluh) Perguruan Historis, setelah sebelumnya sempat istilahnya disebut sebagai Top Organisasi, atau Perguruan Induk kemudian menjadi Perguruan Anggota Khusus karena keanggotannya di IPSI Pusat menjadi anggota khusus. Di dalam setiap Munas IPSI maka Perguruan Historis ini selalu menjadi peserta dan memiliki hak suara di dalam Munas.
1. H. Haryadi Mawardi (Perguruan TAPAK SUCI)
2. Sejarah KONI
3. Tulisan H. Harsoyo (Perguruan Persaudaraan Setia Hati)
4. Arsip penelitian pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar